Politika*
Sejenak kita renungkan,
betapa susahnya memperoleh dukungan suara rakyat yang benar-benar murni dari
hati nurani. Banyak faktor yang
mempengaruhi tingkat pencapaian angka partisipasi pemilih pada Pemilu, Pilkada
dan Pilkades yang diselenggarakan oleh Panitia Pemilihan di tiap-tiap tingkat wilayah pemilihan.
Fenomena seperti ini terjadi dimana-mana pada situasi dan kondisi yang
berbeda-beda pula.
Dengan dibukanya
kesempatan untuk pencalonan Legislatif maupun Eksekutif mendorong para Kontestan berlomba-lomba mencari jalan atau berusaha sekuat tenaga agar terpilih. Sedang untuk dapat terpilih ditempuhlah
berbagai upaya yang tidak mudah untuk menarik hati calon pemilih jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan
pemilihan.
Ada bakal calon yang masih menjabat mengambil kesempatan dengan memanfaatkan sarana dan kekuasaan yang berada di bawah kendalinya (Incumbent). Sementara beberapa mantan penguasa yang sudah dua kali menjabat dan tidak dapat mencalonkan diri lagi karena dibatasi oleh undang-undang tetapi masih berambisi, maka akan berusaha sekuat tenaga mengajukan keluarga atau koleganya untuk ikut di kancah pemilihan. Motivasinya adalah mempertahankan pengaruh demi kepentingan strategisnya yaitu melindungi hasil kerja keras semasa menjabat atau untuk memelihara link tertentu yang sudah dibangun agar tetap kuat.
Ada bakal calon yang masih menjabat mengambil kesempatan dengan memanfaatkan sarana dan kekuasaan yang berada di bawah kendalinya (Incumbent). Sementara beberapa mantan penguasa yang sudah dua kali menjabat dan tidak dapat mencalonkan diri lagi karena dibatasi oleh undang-undang tetapi masih berambisi, maka akan berusaha sekuat tenaga mengajukan keluarga atau koleganya untuk ikut di kancah pemilihan. Motivasinya adalah mempertahankan pengaruh demi kepentingan strategisnya yaitu melindungi hasil kerja keras semasa menjabat atau untuk memelihara link tertentu yang sudah dibangun agar tetap kuat.
Ada pula yang menjual kecap nomor satu lewat koran, radio, TV dan mass media lainnya dengan memanfaatkan
kolom editorial untuk menonjolkan keterkaitan dengan isi tulisan. Di situ diarahkan bahwa yang bersangkutan sangat
berperanan sesuai apa yang tertulis dalam editorial termasuk orang yang layak untuk diperhitungkan dan pantas dimasukan kedalam
bursa pencalonan. Intinya membangun image positif dan
menambah nilai jual bagi kontestan.
Sebagian orang bermain dengan pesan psikologis atau pencitraan untuk membangkitkan perasaan hati pemilih. Ditunjukan seolah-olah
yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan, daya, material atau uang, tetapi hanya berbekal moral dan kejujuran, keterbukaan, bahkan termasuk menjadi salah seorang yang
sedang teraniaya.
Maka untuk lebih meningkatkan citra, kontestan
berusaha terjun ke tengah masyarakat yang tidak berdaya atau sedang tertindas. Diharapkan dengan cara demikian pemilih awam atau pemilih akar rumput
yang senasib sepenanggungan (dari sudut
pandang pemilih) akan merasa dekat karena ada tempat curhat dan keluhannya
didengar. Kalau suasananya sudah terbangun, pada gilirannya calon pemilih bersimpati untuk mendukung atau bahkan menjadi basis suara.
Sementara kontestan bermodal materi, kekuatan politik, kepandaian,
pengalaman, kemapanan diri, kepercayaan dan link yang luas dengan daya yang dipunyainya
secara tenang dapat memposisikan dirinya sebagai kontestan. Dengan daya dan kekuatan seperti ini orang-orang
yang mempunyai kepentingan akan datang menghampiri. Sudah sering kita lihat setelah menjabat sifat aslinya muncul dengan sendirinya yaitu: berpendirian
kuat, egois atau kurang kompromi terhadap kolega baru apalagi rival politiknya,
tergantung mana yang dominan menguasai dirinya.
Sedang sebagian kecil kelompok lainnya adalah orang-orang sederhana,
religius, tidak suka menonjolkan diri tetapi sibuk dengan karya atau
kegiatan rutinnya. Orang-orang seperti
ini agak sulit diidentifikasi karena tidak pernah menonjolkan diri tetapi
sekali diberi jabatan pasti akan dipelihara baik-baik dan amanah. Bahkan apabila
jabatan itu diminta kembali iapun tak akan mempertahankan selama proseduranya
ditempuh.
Lantas apa hubungannya dengan judul di atas?
Ada…!, saya kemukakan terlebih dahulu karakteristik kontestan seperti di
atas walaupun terbatas. Untuk selanjutnya akan disampaikan beberapa fenomena yang berkaitan dengan
calon pemilih secara sederhana.
Kalau di atas yang kita bicarakan adalah yang akan dipilih (kontestan),
yang ini adalah Pemilih (partisipan hak suara).
Ada berbagai karakter dan gaya pemilih yang bisa diamati.
Pemilih patuh sering juga disebut si Penurut. Karakter pemilih yang ini
cenderung mengikuti figur panutannya, yang dituakan, atasan, atau kolega dekatnya.
Kemana diarahkan untuk memilih biasanya tak ambil pusing yang penting sudah
menggunakan haknya. Hasilnya berpengaruh atau tidak terhadap perubahan tidak dipermasalahkan
yang penting tidak mengganggu posisi dan kehidupan rutinnya sehari-hari.
Sebagian dari kelompok ini sebenarnya sadar akan kedudukannya sebagai
calon pemilih yang mempunyai harga tawar tinggi tetapi tidak acuh karena kalau
terlalu fokus pada urusan hak pilih akan menyita waktu dan energi, bahkan bisa
berakibat macam-macam. Tipe ini kalau
dihargai, diberi kepercayaan dan diposisikan dengan tepat dapat menjadi pemilih
setia yang tidak banyak menuntut dan mudah diajak kompromi.
Calon pemilih yang tingkat pendidikan dan pengetahuan
politiknya sudah baik pada umumnya dapat memutuskan sendiri siapa yang akan
dipilih walau tanpa bantuan. Dengan bermodal pengetahuan dan referensi yang
dipunyai biasanya dapat menilai kontestan mana yang cocok. Kuncinya adalah
informasi dan program yang jelas dari kontestan.
Sebagian lain mempunyai karakter yang keras. Calon pemilih yang ini benar-benar sudah
mengerti harus bertindak apa karena didasari pengetahuannya yang baik,
militansi kelompok, dan yakin penyampaian aspirasi pribadi atau
kelompoknya melalui jalur politik yang diketahui dan dapat dipercaya. Kelompok ini sulit diperdayai, jumlahnyapun
secara kuantitas tidak terlalu besar tetapi mempunyai kekuatan dahyat yang
dapat merubah eskalasi dan peta suara pemilih. Biasanya bertindak atau
dimanfaatkan sebagai motor penggerak massa.
Yang lainnya ialah Massa Mengambang. Disebut mengambang karena kelompok ini sebenarnya labil, tidak mempunyai panutan
dan konsepsi yang jelas, ada kemungkinan pengetahuan tentang cara pemanfaatan
hak suaranya juga terbatas. Kelompok ini
didominasi pemilih pemula, yang belum mempunyai ikatan/kelompok tertentu kecuali kelompok bermain
atau kelompok hura-hura, kaum yang telah berkali-kali ditindas secara represif oleh penguasa atau kelompok lain yang lebih kuat, orang-orang
yang sakit hati karena eksistensi politiknya tidak dianggap, juga orang-orang yang sama sekali tidak suka dengan kegaduhan politik. Dari kelompok ini ada yang menjadi golongan putih tidak berpartisipasi mempergunakan hak
suara karena kontestan atau calon yang akan dipilih dianggap tidak seide atau
seakidah. Kelompok pemilih massa
mengambang jumlahnya cukup besar. Dapat
kita ambil contoh seperti: Pilkada DKI, Pilkada Provinsi Jawa Barat, Pilkada Kabupaten
Banyumas, Pilkades di sebagian desa di Kabupaten Purbalingga, berdasarkan
pengamatan tingkat massa mengambangnya masih cukup tinggi.
Militansi dan partisipasi para perantau dalam
penggunaan hak pilih di daerah masing-masing cukup signifikan. Secara kuantitas prosentasenya kecil, tetapi karena soliditasnya
yang baik dapat mempengaruhi calon pemilih lainnya. Dengan penampilan
yang kompak, penggunaan seragam dan atribut, pemanfaatan momen dan waktu yang
tepat, mereka pada umumnya memobilisasi kelompoknya untuk pulang kampung
bersama-sama atas biaya sendiri atau donatur yang usaha bisnisnya sedang baik.
Bagi saudara dan teman-temannya di kampung sering dijadikan barometer
dan panutan karena selama ini secara finansiil telah nyata kontribusinya
terhadap keluarga dan masyarakat di kampung halaman, jadi wajar saja
pendapatnya didengar. Oleh beberapa
calon atau kontestan yang jeli pengaruh ini sering dimanfaatkan untuk
menangguk suara. Dengan penyambutan kecil saja karena merasa diakui eksistensinya oleh masyarakat, sudah dapat meluruhkan hati dan siap menjadi motor penggerak memobilisir calon pemberi
suara lainnya.
Suasana penyampaian aspirasi hak pilih pada umumnya aman dan kondusif,
tetapi untuk beberapa wilayah terjadi kisruh yang tidak terkendali karena
adanya pemaksaan kehendak. Karena tingkat kesadaran
dan kedewasaan politik yang masih rendah calon pemilih diprovokasi
oleh oknum tim pemenangan (kalau di pilkades disebut botoh).
Pemilihan langsung dengan figur tertentu yang ditawarkan juga tidak
serta-merta dapat mendulang suara, kadang uang dipermainkan dengan berbagai cara. Ada yang lewat kucuran dana hibah, rayuan,
intimidasi, bahkan pemaksaan.
Dengan adanya fenomena di atas, terjadi tarik-ulur kepentingan, situasi
yang kondusif baru akan tercipta apabila semua fihak yang terkait saling
hormat-menghormati, tepo-sliro, masing-masing menyadari akan kelebihan-kekurangannya
dan saling menahan diri untuk tidak memaksakan kehendak; pasti mekanisme
penyaluran hak suara rakyat akan lancar dan tingkat partisipasinya akan tinggi.
Fenomena yang sering dibahas di media cetak atau televisi sengaja
tidak dikemukakan, karena saya yakin pembaca sudah
faham dan kemungkinan sampai hafal bahkan bosan.
Selamat menjadi manusia Indonesia yang demokratis pancasilais.
Doc. by Bio
Tidak ada komentar:
Posting Komentar